Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai hubungan antara Zakat dan Pajak berkaitan dengan pengalaman penyuluhan di Kabupaten Sampang yang notabene masyarakatnya dikenal sangat kuat dalam syariat dan keislamannya, penulis mencoba lebih mendalam untuk mengkajinya.
Istilah Zakat lebih dikenal dikalangan Umat Islam, namun demikian agama-agama lainpun pasti ada yang serupa dengannya, hanya menggunakan istilah yang berbeda. Semua agama mengharuskan pemeluknya untuk membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Zakat merupakan penunaian harta dari seorang muslim kepada muslim yang lain setelah melewati wilayah nishab (batasan seseorang wajib zakat/ ukuran yang wajib dizakatkan) dan haul (masa pemmbayaran zakat). Zakat merupakan perintah agama dan merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang memiliki harta dan telah memenuhi kriteria nishab dan haul.
Ada 3 (tiga) kegunaan zakat bagi masyarakat, pertama bagi pembayar zakat (muzakhi) secara tauhid dia meyakini bahwa harta itu adalah amanah, karena menurut islam harta itu bukan milik kita seluruhnya, ada sebagian hak orang lain dalam harta kita sehingga harus dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak. Kedua, zakat berguna untuk mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin dan ketiga, zakat dikeluarkan dalam rangka pemerataan distribusi pendapatan.
Dilihat dari segi penyalurannya zakat diberikan kepada 8 (delapan) asnaf atau golongan orang yang berhak menerima zakat. Penyaluran zakat yang diberikan bisa dalam dua bentuk yaitu hibah dan pemberdayaan masyarakat. Hibah diberikan dalam bentuk uang sedangkan pemberdayaan amsyarakat diberikan dalam bentuk pelatihan-pelatihan keterampilan kepada masyarakat.
Orang barat sering mengatakan "In this world nothing is certain except death and taxes." Bila dilihat dari sudut pandang agama, pernyataan tersebut memeang terkesan berlebihan. lalu, bagaimana para pemikir Barat dan Islam menjelaskan tentang pajak? Hal tersebut akan dibahas dalam bagian berikut ini.
Teori Pajak
Pajak merupakan sarana bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk membiayai kegiatannya, baik yang bersifat langsung dan tidak langsung dari masyarakat. Secara bebas, pajak dapat diartikan sebagai suatu kewajiban yang berupa pengabdian dan peran aktif masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara. Jika pada zaman dahulu, harta kekayaan yang wajib diberikan kepada negara bias berbentuk tenaga (kekuatan fisik, keterampilan atau keahlian) atau harta benda, maka sekarang ini pemberian tersebut bentuknya sudah berupa uang. Secara teoritis pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Meskipun secara definitif pajak merupakan iuran yang dapat dipaksakan, namun pemungutannya sendiri tidak boleh dilakukan secara gegabah, dalam artian harus memperhatikan syarat-syarat tertentu, yaitu :
a. Adil (syarat keadilan)
b. Berdasarkan Undang-undang
c. Tidak mengganggu perekonomian
d. Efisien (syarat finansial)
e. Sederhana
Pajak dalam Konteks Agama Islam
Pajak atau dharibah diambil dari kata dharaba yang artinya utang, pajak tanah atau upeti dan sebagainya. Yaitu suatu yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban. Begitulah, orang memandang pajak sebagai paksaan dan beban yang berat. Pajak yang diakui dalam sejarah islam dan dibenarkan sistemnya, menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawy, harus memenuhi syarat-syarat diantaranya :
1. Benar-benar harta itu dibutuhkan (negara) dan tidak ada sumber lain;
2. Pembagian beban pajak harus adil;
3. Hendaknya untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu;
4. Atas persetujuan para ahli dan cendikia.
Dalam konteks agama islam sebenarnya tidak dikenal istilah pajak, yang ada hanya zakat, infak dan shodaqoh. namun ada semacam hukum dalam masyarakat muslim di sebuah negara islam yang mengatur bahwa untuk warganya yang beragama muslim diwajibkan membayar zakat, sedangkan untuk mereka yang non-muslim diharuskan membayar sejenis pajak tetapi hal tersebut hanya untuk segi keamanan mereka saja. Salah seorang filsuf Islam Kenamaan, Al-Ghazali mengatakan bahwa apabila kas negara itu kosong dan tak ada biaya yang mencukupi untuk pengeluaran biaya militer sedangkan ditakutkan masuknya musuh kedalam negara Islam, atau tumbuhnya pemberontakan dari pihak mereka yang bermaksud jahat, maka dibolehkan kepada negara memungut biaya dari orang kaya sekedar dapat mencukupi pembiayaan tentara. Karena kita mengetahui bahwa apabila timbul dua bahaya maka syara' mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar. Beban yang diberikan kepada orang kaya itu lebih kecil bahayanya dibanding dengan bahaya yang mengancam jiwa dan hartanya, jika di negeri itu tidak terdapat kepala negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan dan menolak segala bahaya.
Perbedaan Zakat dan Pajak
Meskipun zakat dan pajak merupakan pungutan yang harus dibayar oleh orang yang sudah memenuhi syarat tertentu, zakat dan pajak jelas berbeda. Tapi mana bedanya, bisa jadi tidak semua orang tahu. Dengan mudah kita dapat mengatakan, zakat adalah kewajiban agama. sedang pajak merupakan ketentuan yang diterapkan dan dipungut oleh pemerintah. Padahal jika dirunut-runut, sesungguhnya cukup banyak perbedaan antara zakat dengan pajak. Perbedaan paling mendasar antara keduanya adalah perkara niat. Hampir dapat dipastikan, seseorang yang membayar zakat dilandasi dengan niat, sementara untuk pajak jangankan niat, yang seringkali terjadi - tanpa bermaksud menggenalisir - orang justru berusaha sebisa mungkin menghindar dari pajak. kalaupun tidak dapat menghindar, maka mereka berupaya agar pajak yang mereka bayar bisa sekecil mungkin.
Meskipun zakat dan pajak adalah kewajiban, namum keduanaya memiliki sudut pandang yang berbeda bagi tiap orang. Bagi seorang orang Islam yang telah memenuhi nishab dan haul zakat merupakan kewajiban sehingga bagi yang tidak menunaikannya maka orang tersebut akan merasa berdosa. Walaupun membayar pajak juga adalah sebuah kewajiban, namun bagi sebagian orang belum tentu hal itu dilaksanakan sekalipun sebenarnya dia telah memenuhi ketentuan untuk membayar pajak. Bahkan bagi sebagian orabg mungkin merasa tidak berdosa jika tidak membayar pajak.
Perbedaan lainnya adalah mengenai dasar hukum yang dijadikan acuan. Zakat berangkat dari hukum agama, yang tak lain adalah merupakan manifestasi dari ketaatan pada Tuhan, sementara pajak bertolak dari hukum publik yang sebenarnya lebih merupakan perwujudan dari ketaatan pada negara.
Hal lain yang membedakan zakat dan pajak secara umum adalah berkaitan dengan teritorial/ wilayah. Zakat boleh dibilang tidak mengenal yang namanya batasan wialayah atau negara. Mengingat tadi "dasar pengenaannya" bertolak dari hukum agama, maka ketentuan zakat berlaku universal. Tidak demikan halnya dengan pajak, yang "terganjal" oleh batas wilayah atau negara. Dalam hal ini, negara yang berbeda akan menerapkan ketentuan pajak yang berbeda pula. Dilihat dari pihak yang melakukan pembayaran, maka zakat dibayar oleh penduduk yang beragama islam (muslim). Sedangkan pajak, dibayar oleh penduduk tanpa memandang agama.
Perbedaan antara zakat dan pajak bukan hanya dilihat dari kepada siapa kewajiban tersebut ditunaikan, akan tetapi juga dari segi normatif dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Menurutnya pembayaranz akat didasarkan pada sumber-sumber yang halal. Zakat sangat memperhitungkan darimana penghasilan tersebut diperoleh dan apakah penghasilan tersebut harus dikenai zakat. Sedangkan pajak yang dipungut dinegara ini tidak dilihat darimana sumber penerimaan pajak tersebut berasal, apakah itu dari perusahaan minuman keras, diskotik dan sebagainya. Zakat haruslah berasal dari harta yang telah terjamin kehalalannya sebab hal tersebut merupakan syarat mutlak karena harta yang diperoleh dari cara yang tidak halal tidak boleh diambil zakatnya, sedangkan pajak memang tidak melihat darimana sumber penerimaan itu berasal, baik dari yang halal maupun yang haram. Asalkan memberikan tambahan kemampuan ekonomis kepada pemiliknya yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan, suatu penghasilan bisa dikenai pajak.
Persamaan Zakat dan Pajak
Zakat dan Pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara. Persamaan lainnya adalah menegnai imbalan langsung atas pembayarannya. Tak ubahnya seperti pajak yang tidak memperoleh kontraprestasi langsung, demikian pula halnya atas zakat yang dibayarkan tidak memperoleh imbalan materi tertentu di dunia. Selain itu jika dilihat dari sisi tujuan terdapat kesamaan antara keduanya yakni ditujukan untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Perlakuan Pajak terhadap Zakat
Munculnya perlakuan PPh atas zakat dalam UU PPh sebenarnya untuk mengakomodasi ketentuan di dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 (UU Zakat) yang telah lebih dulu ada. Di dalam Pasal 14 ayat (3) UU Zakat dinyatakan, "Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Selaras dengan itu, dalam Pasal 9 UU PPh dinyatakan bahwa :
"(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
Perbedaan antara zakat dan pajak bukan hanya dilihat dari kepada siapa kewajiban tersebut ditunaikan, akan tetapi juga dari segi normatif dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Menurutnya pembayaranz akat didasarkan pada sumber-sumber yang halal. Zakat sangat memperhitungkan darimana penghasilan tersebut diperoleh dan apakah penghasilan tersebut harus dikenai zakat. Sedangkan pajak yang dipungut dinegara ini tidak dilihat darimana sumber penerimaan pajak tersebut berasal, apakah itu dari perusahaan minuman keras, diskotik dan sebagainya. Zakat haruslah berasal dari harta yang telah terjamin kehalalannya sebab hal tersebut merupakan syarat mutlak karena harta yang diperoleh dari cara yang tidak halal tidak boleh diambil zakatnya, sedangkan pajak memang tidak melihat darimana sumber penerimaan itu berasal, baik dari yang halal maupun yang haram. Asalkan memberikan tambahan kemampuan ekonomis kepada pemiliknya yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan, suatu penghasilan bisa dikenai pajak.
Persamaan Zakat dan Pajak
Zakat dan Pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara. Persamaan lainnya adalah menegnai imbalan langsung atas pembayarannya. Tak ubahnya seperti pajak yang tidak memperoleh kontraprestasi langsung, demikian pula halnya atas zakat yang dibayarkan tidak memperoleh imbalan materi tertentu di dunia. Selain itu jika dilihat dari sisi tujuan terdapat kesamaan antara keduanya yakni ditujukan untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Perlakuan Pajak terhadap Zakat
Munculnya perlakuan PPh atas zakat dalam UU PPh sebenarnya untuk mengakomodasi ketentuan di dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 (UU Zakat) yang telah lebih dulu ada. Di dalam Pasal 14 ayat (3) UU Zakat dinyatakan, "Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Selaras dengan itu, dalam Pasal 9 UU PPh dinyatakan bahwa :
"(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat(3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaiamana dimaksud pasal 6 Ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, yang Ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah."
Ketentuan di atas memperkenankan zakat sebagai pengurang penghasilan, dengan syarat zakat tersebut dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Jika dicermati secara gramatikal, didalam ketentuan diatas dinyatakan bahwa hanya zakat atas penghasilan saja yang boleh dijadikan pengurang penghasilan bruto bagi wajib pajak. lalu bagaimana dengan zakat maal ataupun zakat fitrah yang telah dibayarnya, apakah zakat maal dan zakat fitrah tersebut juga dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan? Hal ini bisa saja diperdebatkan di lapangan.
Ketentuan mengenai zakat sebagai pengurang penghasilan saat ini belum ideal karena perlakuan zakat dalam undang-undang pajak baru sebatas sebagai pengurang penghasilan dan jadi belum dianggap sebagai kredit pajak.
Zakat sebagai pengurang penghasilan dalam implementasinya masih terdapat beberapa hambatan, hal ini diantaranya disebabkan karena pajak hanya mengakui tanda bukti penerimaan zakat yang diserahkan kepada badan atau lembaga amil zakat. Sementara banyak wajib pajak yang menyalurkan zakat secara langsung, baik melalui masjid, RT, RW yang tanda bukti penyerahan zakatnya ternyata tidak dapat dijadikanan sebagai pengurang penghasilan dalam penghitungan pajaknya.
Permasalahan lain pajak hanya mengakui zakat sebesar 2,5 % dari harta atau penghasilan yang dizakati. Sedangkan dalam kenyataannya ada Wajib pajak yang membayar lebih dari 2,5 % sehingga menurutnya pajak seharusnya bisa mengakui jumlah zakat yang dibayarkan sesungguhnya oleh Wajib Pajak dan juga bisa menerima tanda bukti selain yang dikeluarkan oleh badan atau Lembaga Amil Zakat.
Idealnya zakat bisa menjadi kredit pajak dan seharusnya zakat bisa menjadi pengurang pajak secara langsung bukan hanya sebagai pengurang penghasilan kena pajak, seperti halnya negara-negara seperti malaysia, Kuwait dan Arab Saudi yang telah memperlakukan zakat sebagai pengurang pajak secara langsung atau sebagai kredit pajak.
Petunjuk pelaksanaan mengenai zakat sebagai pengurang penghasilan telah diatur lebih lanjut dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003 tentang Perlakuan Zakat Atas Penghasilan Dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar 2,5 % dari jumlah penghasilan.
Mudah-mudahan kami dari Direktorat Jenderal Pajak dapat segera merancang dan mengatur secara tegas hal-hal yang belum diatur seperti disebutkan diatas agar ada jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi wajib pajak yang beragama islam yang telah melakukan kewajiban zakatnya. (papacindy.com)
Ketentuan di atas memperkenankan zakat sebagai pengurang penghasilan, dengan syarat zakat tersebut dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Jika dicermati secara gramatikal, didalam ketentuan diatas dinyatakan bahwa hanya zakat atas penghasilan saja yang boleh dijadikan pengurang penghasilan bruto bagi wajib pajak. lalu bagaimana dengan zakat maal ataupun zakat fitrah yang telah dibayarnya, apakah zakat maal dan zakat fitrah tersebut juga dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan? Hal ini bisa saja diperdebatkan di lapangan.
Ketentuan mengenai zakat sebagai pengurang penghasilan saat ini belum ideal karena perlakuan zakat dalam undang-undang pajak baru sebatas sebagai pengurang penghasilan dan jadi belum dianggap sebagai kredit pajak.
Zakat sebagai pengurang penghasilan dalam implementasinya masih terdapat beberapa hambatan, hal ini diantaranya disebabkan karena pajak hanya mengakui tanda bukti penerimaan zakat yang diserahkan kepada badan atau lembaga amil zakat. Sementara banyak wajib pajak yang menyalurkan zakat secara langsung, baik melalui masjid, RT, RW yang tanda bukti penyerahan zakatnya ternyata tidak dapat dijadikanan sebagai pengurang penghasilan dalam penghitungan pajaknya.
Permasalahan lain pajak hanya mengakui zakat sebesar 2,5 % dari harta atau penghasilan yang dizakati. Sedangkan dalam kenyataannya ada Wajib pajak yang membayar lebih dari 2,5 % sehingga menurutnya pajak seharusnya bisa mengakui jumlah zakat yang dibayarkan sesungguhnya oleh Wajib Pajak dan juga bisa menerima tanda bukti selain yang dikeluarkan oleh badan atau Lembaga Amil Zakat.
Idealnya zakat bisa menjadi kredit pajak dan seharusnya zakat bisa menjadi pengurang pajak secara langsung bukan hanya sebagai pengurang penghasilan kena pajak, seperti halnya negara-negara seperti malaysia, Kuwait dan Arab Saudi yang telah memperlakukan zakat sebagai pengurang pajak secara langsung atau sebagai kredit pajak.
Petunjuk pelaksanaan mengenai zakat sebagai pengurang penghasilan telah diatur lebih lanjut dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003 tentang Perlakuan Zakat Atas Penghasilan Dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar 2,5 % dari jumlah penghasilan.
Mudah-mudahan kami dari Direktorat Jenderal Pajak dapat segera merancang dan mengatur secara tegas hal-hal yang belum diatur seperti disebutkan diatas agar ada jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi wajib pajak yang beragama islam yang telah melakukan kewajiban zakatnya. (papacindy.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar